Nama : Nurokhim
NIM : 15820171
Kelas : D/Perbankan Syari’ah, FEBI UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 2015
MADZHAB IQTISHADUNA
Iqtishad bukan hanya sekedar terjemahan dari ekonomi. Iqtishad berasal
dari kata bahasa arab qashd, yang secara harfiah berarti “ekuilibrium”
atau “keadaan sama, seimbang, atau pertengahan”. Sejalan dengan itu, maka semua
teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang.
Sebagai gantinya, mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru yang
langsung digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan Sunnah.[1]
Mazhab ini dipelopori oleh Baqir As-Sadr
dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita). Mazhab ini
berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak pernah bisa sejalan
dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan
Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena
keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti-Islam,
yang lainnya Islam.[2]
Menurut pemikiran As-Sadr bahwa dalam
mempelajari ilmu ekonomi harus dilihat dari dua aspek, yaitu aspek philosophy
of economics atau normative economics dan aspek positive
economics. Contoh dari aspek positive economics, yaitu mempelajari
teori konsumsi dan permintaan yang merupakan suatu fenomena umum dan dapat
diterima oleh siapa pun tanpa dipengaruhi oleh ideologi. Dalam teori konsumsi
dirumuskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suatu barang adalah
tingkat pendapatan, tingkat harga, selera, dan faktor-faktor non-ekonomi
lainnya. Berdasarkan hukum permintaan (law of demand) bahwa ada korelasi
yang negatif antara besarnya tingkat harga barang dengan jumlah barang yang
diminta asumsi cateris paribus. Jika harga barang naik jumlah barang
yang diminta akan turun dan sebaliknya. Fakta ini terjadi pada konteks ekonomi
dimana pun dan oleh siapa pun tanpa melihat latar belakang sosial, budaya,
agama, politik, dan sebagainya.
Adapun dari aspek phylosophy of
economics yang merupakan hasil pemikiran manusia, maka akan dijumpai bahwa
tiap kelompok manusia mempunyai ideologi, cara pandang dan kebiasaan (habit)
yang tidak sama. Persoalan kepantasan antara satu anggota masyarakat dengan
anggota lainnya atau antara satu golongan masyarakat dengan golongan lainnya
masing-masing memiliki batasan atau definisi sendiri. Makan sambil berdiri dan
menggunakan tangan kiri merupakan hal yang pantas dan biasa di masyarakat
Eropa, namun lain halnya pada masyarakat di Indonesia. Dalam pandangan Islam bahwa sesuatu diaggap ‘pantas’ manakala
hal itu dianjurkan dalam Islam dan sesuatu dianggap ‘tidak pantas’ jika hal itu
dicela dan dilarang menurut syariah.
Ada kesenjangan secara terminologis antara pengertian ekonomi
dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi dalam
perspektif syariah Islam sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks
syariah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang
menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber
daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang
sifatnya tidak terbatas. Dalam hal ini Mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian
tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan
makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi
sebagaimana ditegaskan melalui firman-Nya dalam Surah Al-Furqan (25) ayat 2:
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا
وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ
شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan
bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam
kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”[3]
Selain itu, menurut mereka perbedaan filosofi akan berdampak pada
perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu
ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak
terbatas sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia
tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena
menurut mereka, Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil
yang dipakai adalah Al-Qur’an surat Al-Qamar ayat 49:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sungguh telah Kami ciptakan segala
sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.”
Dengan demikian, karena segala sesuatunya
sudah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya
yang cukup bagi seluruh manusia di dunia.
Pendapat bahwa keinginan manusia itu tidak
terbatas juga ditolak. Contoh: Manusia akan berhenti minum jika dahaganya sudah
terpuaskan. Oleh karena itu, mazhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang
tidak terbatas itu tidak benar sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu
terbatas. (Bandingkan pendapat ini dengan teori Marginal Utility, Law
of Diminishing Returns, dan Hukum Gossen dalam ilmu ekonomi).
Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah
ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai
akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap
pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga
menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber
daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah ekonomi muncul bukan
karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak
terbatas.
Oleh karena itu, menurut mereka, istilah
ekonomi Islami adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi
juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu penggunaan istilah ekonomi Islami
harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal dari
filosofi Islam, yakni Iqtishad.[4]
Latar Belakang Tokoh (Muhammad Baqir As-Sadr):
Asy-Syahid Muhammad Baqir As-Sadr dilahirkan di Kadhimiyeh, Baghdad pada 1935.
Sebagai keturunan dari sebuah keluarga sarjana dan intelektual Islam Syi’ah yang termasyhur, wajar saja Sadr mengikuti langkah
kaki mereka. Ia memilih untuk menuntut pengajaran Islam tradisional di hauzah
atau sekolah tradisional di Iraq, dan disitu ia belajar fiqh, ushul, dan
teologi. Ia amat menonjol dalam prestasi intelektualnya, sehingga pada umur 20
tahun telah memperoleh derajat mujtahid mutlaq, dan selanjutnya
meningkat lagi ke tingkat otoritas tertinggi marja (otoritas pembeda). Otoritas
intelektual dan spiritual di dalam tradisi Islam tersebut juga terwujud di
dalam tulisan-tulisan Sadr, dan di dalam karyanya Iqtishaduna (Ekonomi
Kita) ia menunjukkan metodologi ‘pernyataan tegas yang independen, tetapi
memenuhi syarat’.
Sekalipun memiliki latar belakang
tradisional, Sadr tidak pernah terpisah dari isu-isu kontemporer. Minat
intelektualnya yang tajam mendorongnya untuk secara kritis mempelajari filsafat
kontemporer, ekonomi, sosiologi, sejarah, dan hukum. Seperti Taleghani, ia
adalah seorang ‘alim yang aktif’. Secara terus-menerus ia menyuarakan
pandangan-pandangannya mengenai kondisi kaum Muslimin dan membicarakan
keinginan untuk merdeka, tidak saja kekangan politik, namun juga dari ‘pemikiran
dan gagasan’. Kondisi di Iraq mendorongnya untuk mendirikan Hizb ad-Da’wah
al-Islamiyah (Partai Dakwah Islam), yakni sebuah partai yang menyatukan
para pimpinan agama dan kaum muda, yang terutama sekali dimaksudkan untuk
melawan gelombang sosialisme Ba’ats yang mengambil kekuasaan politik pada 1958.
Karyanya Falsafatuna (Filsafat Kita) dan kemudian Iqtishaduna,
memberikan suatu kritik komparatif terhadap kapitalisme maupun sosialisme, dan
pada saaat yang sama menggambarkan pandangan-dunia (worldview) Islam
bersama dengan garis-garis besar sistem ekonomi Islam.[5]
Pendapat Saya :
Dilihat dari
pemikiran beliau yang merujuk pada Al-quran & Hadist, ini menunjukkan bahwa
pemikirannya melalui pendekatan normatif yang artinya pemikiran ekonomi Islam yang lebih mempopulerkan norma-norma yang terkandung dalam sumber-sumber Islam
(al-Qur'an, Hadits, dan Fiqh). Bahkan, jika normatifisme dijadikan sebagai pemikiran yang absolut, maka ekonomi Islam akan menjadi pilihan mutlak tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi perkembangan ekonomi kontemporer. Maka model pemikiran ini
cenderung pada yang dikembangkan oleh Baqir as-Shadr dengan bukunya Iqtishaduna.
Karena beliau menjustifikasi bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan
Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya berasal dari
filosofi yang saling kontradiktif.
Sistem ekonomi Islam pada dasarnya berbeda dengan
kapitalisme dan sosialisme. Tetapi dalam beberapa hal merupakan kompromi antara kedua
aliran tersebut, dan berdiri di antara keduanya. Islam memandang persoalan ekonomi tidak dari
perspektif kapitalis, yang memberikan kebebasan dan hak pemilikan tak terbatas
pada setiap individu serta mendukung eksploitasi seseorang. Juga tidak memandang dari
perspektif sosialis, yang ingin merampas semua hak individu dan menjadikan individu semata-mata
sebagai budak ekonomi yang dikendalikan negara, tatapi
ia memberi perhatian pada naluri ke egoisan manusia tanpa membiarkannya
menjadi berbahaya bagi masyarakat. Rekonsiliasi antara kepentingan diri sendiri
dan anggota masyarakat dicapai melalui tindakan-tindakan hukum dan moral.
Islam meletakkan ekonomi pada posisi tengah dan keseimbangan
yang adil dalam bidang ekonomi. Keseimbangan diterapkan dalam segala segi,
imbang antara modal dan usaha, antara produksi dan konsumsi, antara produsen dan konsumen dan
antara golongan-golongan dalam masyarakat.
Essensinya, bahwa seluruh aktivitas perekonomian dalam
Islam selalu mengedepankan kemaslahatan dan penuh rasa keadilan bagi seluruh pelaku
ekonomi, di mana al-Qur’ân dan sunnah sebagai landasan berfikirnya.
[1] Ika Yunia
Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif
Maqashid Al-Syari’ah (Jakarta: Kencana, 2014), 37.
[2] Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 30.
[3] Veithzal Rivai
dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi
Solusi! (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 384-386.
[4] Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islami, 30-31.
[5] Mohammad Aslam
Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), 131-132.
0 komentar:
Posting Komentar